Aksi kekerasan, cucuran darah,
dan kadang berujung kematian umumnya membuat ngeri dan dihindari kaum
wanita. Tetapi, tidak demikian halnya dengan dr Wahyuni Ristiyana Homan
SpKO. Perempuan yang selalu tampil nyentrik dan tomboi itu justru
mengakrabi itu dengan menjadi dokter ring tinju profesional. Seperti
apa?
PENAMPILANNYA nyentrik dan agak
tomboi. Rambutnya dipotong pendek agak jabrik dan dicat pirang, serasi
dengan kulitnya yang putih bersih agak bule. Perawakannya tegap,
tangannya tampak berotot, mirip polwan atau anggota TNI.
Itulah sosok dr Wahyuni
Ristiyana Homan SpKO, dokter spesialis olahraga. Hingga kini, Wahyuni
menjadi satu-satunya dokter wanita di Indonesia yang bertugas di ring
tinju profesional. Olahraga bayaran yang identik dengan darah dan
musibah membahayakan. Di luar ring tinju, Wahyuni juga menjadi dokter di
Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), serta
Program Atlet Andalan (PAL) membidangi cabang judo, gulat, tenis
lapangan dan tenis meja.
Dalam menjalani profesinya
sebagai dokter olahraga, Wahyuni sangat profesional. Seperti Jumat pekan
lalu, di studio TVRI Pusat Jakarta, dokter nyentrik itu bertugas
memeriksa empat petinju profesional yang akan bertarung di Ring Tinju
TVRI Sabtu malam. Di antaranya adalah juara nasional versi Asosiasi
Tinju Indonesia (ATI) Herry Amol dan penantang peringkat pertama Sofyan
Efendi. Kesehatan kedua petinju itu diperiksa secara bergantian untuk
memastikan laik tidaknya mereka naik ring.
Selain mendapatkan kepastian
kondisi kesehatan secara medis, dia kepada petinju menanyakan kesiapan
bertanding dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Jika hasil pemeriksaan
itu memenuhi standar aturan pertandingan, barulah petinju bersangkutan
dinyatakan laik tanding. Standar pemeriksaan itu mengacu kepada
ketentuan badan tinju dunia, seperti WBA, WBC, atau WBO, dan diikuti
oleh tiga badan tinju Indonesia, yakni Komisi Tinju Indonesia (KTI),
Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI) dan Asosiasi Tinju Indonesia
(ATII).
"Setiap petinju yang akan
bertanding harus memenuhi standar kesehatan. Dia dinyatakan laik tanding
jika standar kesehatan itu terpenuhi. Salah satu di antaranya, petinju
harus dalam kondisi sehat berdasar pemeriksaan tim medis. Tidak
menderita penyakit jantung atau hipertensi," kata Wahyuni. Pemeriksaan
itu dilakukan sehari sebelum pertandingan, biasanya saat timbang badan.
Standar kesehatan memang tidak
menjamin tak akan terjadi kecelakaan yang bisa membawa maut bagi
petinju. Buktinya, masih banyak petinju Indonesia yang meregang nyawa
setelah pertandingan. Meski begitu, Wahyuni yakin, jika semua dokter
ring mematuhi ketentuan standar pertandingan, musibah yang membahayakan
petinju itu bisa diminimalkan.
"Untuk menentukan laik tidaknya
petinju naik ring, saya menggunakan standar peraturan pertandingan.
Makanya, sampai sekarang belum ada petinju (yang ditanganinya, Red) yang
karena bertanding sampai meregang nyawa," ujarnya. Selain berprofesi
sebagai dokter spesialis olahraga, Wahyuni pernah mengikuti pendidikan
kepelatihan dokter ring tinju yang diadakan badan tinju dunia WBC pada
2005 di Jakarta.
Berbeda dengan sebelum
pertandingan yang ada standar untuk menentukan petinju laik tidaknya
naik ring, di ring tidak ada standar baku bagi dokter untuk menghentikan
pertandingan. Bahkan, ketika terjadi kecelakaan terhadap seorang
petinju atau kedua petinju di ring, tak jarang keputusan "politik" ikut
berperan. Misalnya, diminta agar dokter melarang pertandingan
dilanjutkan jika petinju yang dikehendaki menang ternyata akan berbalik
kalah, atau mengizinkan pertandingan dilanjutkan setelah terjadi
pendarahan akibat benturan atau pelanggaran di ring.
Pernyataan dokter nyentrik itu
memang ada benarnya. Masalahnya, aturan di tinju profesional memang
sangat berbeda dengan di tinju amatir. Di profesional, jika tak puas
oleh keputusan hasil pertandingan, petinju bersangkutan bisa meminta
tarung ulang (rematch). Dan, promotor bisa mengaturnya. Di amatir, tidak
ada pertarungan ulang yang direncanakan. Masalahnya, pertandingan hanya
terjadi pada iven-iven yang telah ditentukan dan penentuan lawan
berdasar undian (drawing).
Peristiwa yang menimpa petinju
Indonesia, Daud "Cino" Jordan saat bertarung di California, AS, 7 Maret
lalu misalnya. Pertarungan non-gelar 10 ronde melawan mantan juara dunia
kelas super bulu asal AS Robert Guerrero dihentikan wasit pada ronde
kedua, karena pelipis Guerrero berdarah akibat benturan. Keputusan
akhir, duel tersebut dianggap tidak ada (no contest) sehingga tidak ada
pemenangnya.
Padahal, cedera yang dialami
Guerrero tidak terlalu parah. Tetapi, karena ada kekhawatiran Guerrero
akan kalah jika pertarungan dilanjutkan, dokter ring pun
merekomendasikan kepada wasit agar pertandingan tidak dilanjutkan.
Keputusan penghentian pertandingan saat kedua petinju masih terlihat
bugar akibat insinden benturan yang berakibat salah satu di antaranya
mengalamai pendarahan memang hal biasa terjadi di arena tinju
profesional.
Keputusan kontroversial seperti
itu juga pernah dialami Chris John ketika menghadapi Ricardo "Rocky"
Juarez (AS) pada 28 Februari lalu di Houston, Texas, Amerika. Meski
Chris John tampak mendominasi pukulan, wasit memutuskan draw sehingga
dilakukan tarung ulang di MGM Las Vegas, Amerika Serikat, pada 19
September lalu. Hasilnya, Chris John dinyatakan menang angka mutlak.
"Tidak ada standar pertandingan
harus dihentikan. Semua berdasar perasaan dokter bersangkutan. Kalau
kita menganggap berbahaya jika pertarungan dilanjutkan, ya, kita
hentikan," terang perempuan kelahiran Jakarta, 11 November 1967 itu.
Akrab dengan darah sudah dialami
Wahyuni sejak memilih masuk fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi
swasta di Jakarta. Tetapi, akrab dengan darah yang ditimbulkan aksi
kekerasan di arena pertandingan baru dialaminya pada 2005, saat
dipercaya ikut membantu menjadi dokter ring pada pertandingan tinju profesional di bawah pengawasan ATI.
Profesi dokter olahraga mulai
diminati Wahyuni pada 2003. Yakni sesudah menyelesaikan kewajiban
menjadi pegawai tidak tetap (PTT) sebagai dokter umum di daerah Sangihe
Talaud, Manado, Sulawesi Utara. Jiwa olahraga Wahyuni mendorong untuk
melanjutkan kuliah dengan mengambil spesialis olahraga di Universitas
Indonesia. "Dasarnya, saya sejak kecil memang suka olahraga. Itu yang
mendorong saya memilih spesialis dokter olahraga ketika sudah
menyelesaikan PTT di Sangihe Talaud," kata perempuan yang masih betah
hidup sendiri itu.
Penampilannya yang selalu tomboi
sejak kanak-kanak, tampaknya juga seiring dengan pilihan
olahraga-olahraga keras. Maklum, sejak kecil Wahyuni paling menyukai
tinju dan beladiri. Meski olahraga renang, atletik, basket dan bola voli
juga menjadi kegemarannya, olahraga itu tidak bisa mengalahkan hobinya
akan beladiri dan tinju. "Saya bahkan pernah bercita-cita menjadi
petinju," tuturnya.
Sayang, orangtuanya tak pernah
menyetujui Wahyuni berlatih beladiri, apalagi tinju. Orangtuanya tak
memberi tahu mengapa Wahyuni tak boleh berlatih beladiri atau tinju.
"Penampilan saya yang dianggap tomboi mungkin menjadi alasan orangtua
saya melarang latihan beladiri atau tinju. Mungkin takut saya semakin
kelaki-lakian," kilahnya.
Nah, ketika kelas 3 SMA,
menjelang ujian, sulung di antara lima bersaudara anak pasangan Tjandra
Homan dan Liesong itu, kabur dari rumah. Ada persoalan yang tidak
disetujui Tjandra. Tetapi, karena karakternya memang keras, Wahyuni
memilih keluar dari rumah. Dengan tinggal di rumah kos itulah, Wahyuni
akhirnya bisa menyalurkan hobinya, berlatih karate di perguruan
Kyokushinkai.
"Saya ingin buktikan kepada
kedua orangtua saya bahwa saya bisa mandiri," ujarnya. Meski kedua
orangtuanya tergolong mampu karena punya bisnis kertas, Wahyuni bertekad
ingin mencari penghasilan sendiri. Ia pun menjadi pengajar privat
anak-anak SD dan SMP di seputar tempat kosnya. Sekitar 11 tahun menjadi
pengajar privat, akhirnya Wahyuni bisa menyelesaikan kuliah di Fakultas
Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta.
Kerja keras dan tak mudah
menyerah serta berprinsip pada disiplin yang diperoleh dari latihan bela
diri karate Kyokushinkai saat masih di bangku kuliah itu, diakui sangat
berperan meraih sukses hingga dia kini menjadi dokter spesialis
olahraga. Dalam menekuni beladiri asal Jepang itu, Wahyuni juga sudah
menyandang predikat pembina sebagai anggota dewan sabuk hitam Dan III.
Meski kesehariannya disibukkan
tugas-tugas sebagai dokter olahraga, Wahyuni masih menyempatkan diri
melakukan gerakan-gerakan karate untuk kebugaran. Dia bahkan berniat
ingin mendalami olahraga yoga. Tak tanggung-tanggung, dia ingin berlatih
langsung di negeri asalnya, India. "Kalau tidak ada halangan, Januari
2010 saya akan berangkat ke India untuk mendalami yoga," tuturnya.
0 komentar:
Posting Komentar