Kamis, 03 Mei 2012

Inilah Dokter Wanita di Ring Tinju Satu-satunya di Indonesia


Aksi kekerasan, cucuran darah, dan kadang berujung kematian umumnya membuat ngeri dan dihindari kaum wanita. Tetapi, tidak demikian halnya dengan dr Wahyuni Ristiyana Homan SpKO. Perempuan yang selalu tampil nyentrik dan tomboi itu justru mengakrabi itu dengan menjadi dokter ring tinju profesional. Seperti apa?

PENAMPILANNYA nyentrik dan agak tomboi. Rambutnya dipotong pendek agak jabrik dan dicat pirang, serasi dengan kulitnya yang putih bersih agak bule. Perawakannya tegap, tangannya tampak berotot, mirip polwan atau anggota TNI.

Itulah sosok dr Wahyuni Ristiyana Homan SpKO, dokter spesialis olahraga. Hingga kini, Wahyuni menjadi satu-satunya dokter wanita di Indonesia yang bertugas di ring tinju profesional. Olahraga bayaran yang identik dengan darah dan musibah membahayakan. Di luar ring tinju, Wahyuni juga menjadi dokter di Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), serta Program Atlet Andalan (PAL) membidangi cabang judo, gulat, tenis lapangan dan tenis meja.

Dalam menjalani profesinya sebagai dokter olahraga, Wahyuni sangat profesional. Seperti Jumat pekan lalu, di studio TVRI Pusat Jakarta, dokter nyentrik itu bertugas memeriksa empat petinju profesional yang akan bertarung di Ring Tinju TVRI Sabtu malam. Di antaranya adalah juara nasional versi Asosiasi Tinju Indonesia (ATI) Herry Amol dan penantang peringkat pertama Sofyan Efendi. Kesehatan kedua petinju itu diperiksa secara bergantian untuk memastikan laik tidaknya mereka naik ring.


Selain mendapatkan kepastian kondisi kesehatan secara medis, dia kepada petinju menanyakan kesiapan bertanding dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Jika hasil pemeriksaan itu memenuhi standar aturan pertandingan, barulah petinju bersangkutan dinyatakan laik tanding. Standar pemeriksaan itu mengacu kepada ketentuan badan tinju dunia, seperti WBA, WBC, atau WBO, dan diikuti oleh tiga badan tinju Indonesia, yakni Komisi Tinju Indonesia (KTI), Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI) dan Asosiasi Tinju Indonesia (ATII).

"Setiap petinju yang akan bertanding harus memenuhi standar kesehatan. Dia dinyatakan laik tanding jika standar kesehatan itu terpenuhi. Salah satu di antaranya, petinju harus dalam kondisi sehat berdasar pemeriksaan tim medis. Tidak menderita penyakit jantung atau hipertensi," kata Wahyuni. Pemeriksaan itu dilakukan sehari sebelum pertandingan, biasanya saat timbang badan.

Standar kesehatan memang tidak menjamin tak akan terjadi kecelakaan yang bisa membawa maut bagi petinju. Buktinya, masih banyak petinju Indonesia yang meregang nyawa setelah pertandingan. Meski begitu, Wahyuni yakin, jika semua dokter ring mematuhi ketentuan standar pertandingan, musibah yang membahayakan petinju itu bisa diminimalkan.


"Untuk menentukan laik tidaknya petinju naik ring, saya menggunakan standar peraturan pertandingan. Makanya, sampai sekarang belum ada petinju (yang ditanganinya, Red) yang karena bertanding sampai meregang nyawa," ujarnya. Selain berprofesi sebagai dokter spesialis olahraga, Wahyuni pernah mengikuti pendidikan kepelatihan dokter ring tinju yang diadakan badan tinju dunia WBC pada 2005 di Jakarta.

Berbeda dengan sebelum pertandingan yang ada standar untuk menentukan petinju laik tidaknya naik ring, di ring tidak ada standar baku bagi dokter untuk menghentikan pertandingan. Bahkan, ketika terjadi kecelakaan terhadap seorang petinju atau kedua petinju di ring, tak jarang keputusan "politik" ikut berperan. Misalnya, diminta agar dokter melarang pertandingan dilanjutkan jika petinju yang dikehendaki menang ternyata akan berbalik kalah, atau mengizinkan pertandingan dilanjutkan setelah terjadi pendarahan akibat benturan atau pelanggaran di ring.


Pernyataan dokter nyentrik itu memang ada benarnya. Masalahnya, aturan di tinju profesional memang sangat berbeda dengan di tinju amatir. Di profesional, jika tak puas oleh keputusan hasil pertandingan, petinju bersangkutan bisa meminta tarung ulang (rematch). Dan, promotor bisa mengaturnya. Di amatir, tidak ada pertarungan ulang yang direncanakan. Masalahnya, pertandingan hanya terjadi pada iven-iven yang telah ditentukan dan penentuan lawan berdasar undian (drawing).

Peristiwa yang menimpa petinju Indonesia, Daud "Cino" Jordan saat bertarung di California, AS, 7 Maret lalu misalnya. Pertarungan non-gelar 10 ronde melawan mantan juara dunia kelas super bulu asal AS Robert Guerrero dihentikan wasit pada ronde kedua, karena pelipis Guerrero berdarah akibat benturan. Keputusan akhir, duel tersebut dianggap tidak ada (no contest) sehingga tidak ada pemenangnya.

Padahal, cedera yang dialami Guerrero tidak terlalu parah. Tetapi, karena ada kekhawatiran Guerrero akan kalah jika pertarungan dilanjutkan, dokter ring pun merekomendasikan kepada wasit agar pertandingan tidak dilanjutkan. Keputusan penghentian pertandingan saat kedua petinju masih terlihat bugar akibat insinden benturan yang berakibat salah satu di antaranya mengalamai pendarahan memang hal biasa terjadi di arena tinju profesional.

Keputusan kontroversial seperti itu juga pernah dialami Chris John ketika menghadapi Ricardo "Rocky" Juarez (AS) pada 28 Februari lalu di Houston, Texas, Amerika. Meski Chris John tampak mendominasi pukulan, wasit memutuskan draw sehingga dilakukan tarung ulang di MGM Las Vegas, Amerika Serikat, pada 19 September lalu. Hasilnya, Chris John dinyatakan menang angka mutlak.

"Tidak ada standar pertandingan harus dihentikan. Semua berdasar perasaan dokter bersangkutan. Kalau kita menganggap berbahaya jika pertarungan dilanjutkan, ya, kita hentikan," terang perempuan kelahiran Jakarta, 11 November 1967 itu.

Akrab dengan darah sudah dialami Wahyuni sejak memilih masuk fakultas kedokteran sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Tetapi, akrab dengan darah yang ditimbulkan aksi kekerasan di arena pertandingan baru dialaminya pada 2005, saat dipercaya ikut membantu menjadi dokter ring pada pertandingan tinju profesional di bawah pengawasan ATI.

Profesi dokter olahraga mulai diminati Wahyuni pada 2003. Yakni sesudah menyelesaikan kewajiban menjadi pegawai tidak tetap (PTT) sebagai dokter umum di daerah Sangihe Talaud, Manado, Sulawesi Utara. Jiwa olahraga Wahyuni mendorong untuk melanjutkan kuliah dengan mengambil spesialis olahraga di Universitas Indonesia. "Dasarnya, saya sejak kecil memang suka olahraga. Itu yang mendorong saya memilih spesialis dokter olahraga ketika sudah menyelesaikan PTT di Sangihe Talaud," kata perempuan yang masih betah hidup sendiri itu.

Penampilannya yang selalu tomboi sejak kanak-kanak, tampaknya juga seiring dengan pilihan olahraga-olahraga keras. Maklum, sejak kecil Wahyuni paling menyukai tinju dan beladiri. Meski olahraga renang, atletik, basket dan bola voli juga menjadi kegemarannya, olahraga itu tidak bisa mengalahkan hobinya akan beladiri dan tinju. "Saya bahkan pernah bercita-cita menjadi petinju," tuturnya.

Sayang, orangtuanya tak pernah menyetujui Wahyuni berlatih beladiri, apalagi tinju. Orangtuanya tak memberi tahu mengapa Wahyuni tak boleh berlatih beladiri atau tinju. "Penampilan saya yang dianggap tomboi mungkin menjadi alasan orangtua saya melarang latihan beladiri atau tinju. Mungkin takut saya semakin kelaki-lakian," kilahnya.

Nah, ketika kelas 3 SMA, menjelang ujian, sulung di antara lima bersaudara anak pasangan Tjandra Homan dan Liesong itu, kabur dari rumah. Ada persoalan yang tidak disetujui Tjandra. Tetapi, karena karakternya memang keras, Wahyuni memilih keluar dari rumah. Dengan tinggal di rumah kos itulah, Wahyuni akhirnya bisa menyalurkan hobinya, berlatih karate di perguruan Kyokushinkai.

"Saya ingin buktikan kepada kedua orangtua saya bahwa saya bisa mandiri," ujarnya. Meski kedua orangtuanya tergolong mampu karena punya bisnis kertas, Wahyuni bertekad ingin mencari penghasilan sendiri. Ia pun menjadi pengajar privat anak-anak SD dan SMP di seputar tempat kosnya. Sekitar 11 tahun menjadi pengajar privat, akhirnya Wahyuni bisa menyelesaikan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta.

Kerja keras dan tak mudah menyerah serta berprinsip pada disiplin yang diperoleh dari latihan bela diri karate Kyokushinkai saat masih di bangku kuliah itu, diakui sangat berperan meraih sukses hingga dia kini menjadi dokter spesialis olahraga. Dalam menekuni beladiri asal Jepang itu, Wahyuni juga sudah menyandang predikat pembina sebagai anggota dewan sabuk hitam Dan III.

Meski kesehariannya disibukkan tugas-tugas sebagai dokter olahraga, Wahyuni masih menyempatkan diri melakukan gerakan-gerakan karate untuk kebugaran. Dia bahkan berniat ingin mendalami olahraga yoga. Tak tanggung-tanggung, dia ingin berlatih langsung di negeri asalnya, India. "Kalau tidak ada halangan, Januari 2010 saya akan berangkat ke India untuk mendalami yoga," tuturnya. 

0 komentar:

Posting Komentar